Optimalisasi Digital Marketing: Upaya Mengembangkan Ekonomi Kreatif Pesantren
OPTIMALISASI DIGITAL MARKETING: UPAYA MENGEMBANGKAN EKONOMI KREATIF PESANTREN
Oleh: Mawfiroh
Indonesia merupakan negara dengan berbagai ragam etnis, budaya dan agama (Sari, 2022: 80). Diantara keragaman agama, Islam mendominasi sebagai agama yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Pada akhir tahun 2021 masyarakat yang menganut agama Islam mencapai angka 238,09 juta jiwa atau setara dengan angka 86,93% dari total keseluruhan 273,87 juta jiwa. Sejalan dengan kuantitas muslim yang besar, rupanya pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tradisional Indonesia juga memiliki kuantitas yang besar. Menurut Kementrian Agama, tercatat sampai saat ini jumlah keseluruhan pesantren di Indonesia mencapai angka 36.600.
Pesantren dalam konteks keindonesiaan memegang peran penting pada aspek pembinaan spiritualias, moralitas dan intelektualitas. Namun tidak terbatas pada aspek tersebut, pesantren juga memegang peran dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat (Nadzir, 2015: 38). Upaya tersebut dilakukan melalui ekonomi kreatif pesantren.
Ekonomi kreatif sendiri diartikan sebagai konsep pengembangan nilai tambah suatu produk yang diadopsi dari ide kreatif sumber daya manusia (Kementrian Pariwisata, 2020: 22). Definisi lain menyebutkan bahwa ekonomi kreatif sejatinya merupakan kegiatan perekonomian yang mengutamakan bentuk kreativitas guna menghasilkan sesuatu yang berbeda sehingga mendapatkan nilai tambah (Suryana, 2013: 3). Ekonomi kreatif merupakan lanjutan dari ekonomi gelombang ketiga yang berorientasi pada inovasi, kreativitas serta pemanfaatan warisan budaya dan lingkungan sebagai sumber daya ekonomi (Munajat, 2022: 6).
Saat ini terdapat banyak pesantren diseluruh Indonesia yang telah memiliki usaha mandiri. Usaha mandiri tersebut terdiri dari beberapa aspek. Sebagaimana yang digambarkan dalam data berikut:
POTENSI EKONOMI KREATIF PESANTREN 2021
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa unit usaha mandiri pesantren dalam bidang koperasi, usaha kecil menengah dan ekonomi syari’ah berjumlah 1.845, agrobisnis berjumlah 1.479, perkebunan berjumlah 1.141, peternakan berjumlah 1.053, olahraga berjumlah 797, seni budaya berjumlah 716, teknologi berjumlah 366, pusat kesehatan berjumlah 349, maritim berjumlah 318 dan vokasional memiliki angka terendah yakni 112. Langkah ini mencerminkan kesadaran akan peran yang dimainkan oleh pesantren dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, pesantren yang melakukan pengembangan ekonomi kreatif secara serius sehingga memiliki keuntungan berkelanjutan jumlahnya masih cukup kecil. Berkaitan dengan ini, terdapat beberapa tipologi ekonomi pesantren yaitu: pertama, ekonomi pesantren yang dikelola oleh pengasuh yang memiliki entrepreneurship. Kedua, pesantren yang melakukan pemberdayaan ekonomi pesantren secara independen tanpa menganggu terhadap proses kurikulum pesantren. Ketiga, pesantren yang melakukan pemberdayaan ekonomi bersama masyarakat. Keempat, pesantren yang menjalankan pengembangan ekonomi namun masih tahap dalam fase percobaan dan belum mendapatkan laba. Kelima, pesantren yang tidak melakukan pemberdayaan ekonomi karena menganggap bahwa melakukan usaha ekonomi dapat mengganggu stabilitas proses pendalaman ilmu keagamaan.
Berdasarkan tipologi tersebut pengembangan ekonomi kreatif pesantren masih banyak yang berada dalam tahap keempat, yaitu fase percobaan dan belum melakukannya secara berkelanjutan. Sebagai sampel, menurut data yang dilansir oleh Dinas Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Provinsi Jawa Timur bahwa hanya terdapat 550 dari total 6000 pesantren di Jawa Timur yang memiliki produk unggulan. Hal ini mengindikasikan bahwa hanya 9,16% pesantren Jawa Timur yang mengembangkan industri kreatif dengan serius.
Belum optimalnya pengembangan ekonomi pesantren tersebut disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah pesantren belum optimal dalam menggunakan digital marketing sebagai bagian dari proses berkembangnya ekonomi kreatif pesantren. Misalnya digital marketing yang dilakukan oleh pondok pesantren Nazhatut Thullab Sampang untuk memasarkan buku karya santri. Aplikasi Shopee menjadi pilihan sebagai tempat transaksi (nama akun @Iftbookmerch) dengan bantuan pemasaran melalui Aplikasi TikTok (nama akun @Nazhatutthullab).
Hal serupa juga dilakukan oleh MANU Putra Buntet Pesantren Cirebon. Pesantren tersebut memasarkan produk karya santri berupa Cemilan Liwetin melalui aplikasi TikTok (nama akun @manuputrapc). Namun langkah tersebut tidak mendapatkan hasil yang memuaskan sebab konten yang tidak informatif dan tidak tersedianya transaksi jual beli digital.
Sejatinya hal tersebut merupakan langkah yang baik. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan aplikasi digital yang digunakan pondok pesantren Nazhatut Thullab dalam mengembangkan ekonomi kreatif pesantrennya dan aplikasi digital dalam proses transaksinya. Serta MANU Putra Buntet Pesantren yang menggunakan aplikasi digital dalam pemasaran produknya meski belum melibatkan sistem digital dalam proses transaksi jual beli maupun payment-nya.
Meskipun telah melibatkan digital marketing, keduanya tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Maka perlu adanya strategi aplikatif dalam
penggunaan marketing digital yang dapat digunakan pesantren dalam mengembangkan ekonomi kreatif nya.
Berikut penulis rumuskan beberapa strategi mengembangkan ekonomi kreatif pesantren melalui digital marketing, diantaranya; pertama, penelitian pasar. Hal ini merupakan langkah awal yang penting. Dalam proses pemasaran produk pesantren perlu memahami preferensi targetnya. Maka pesantren perlu melakukan penelitian pasar, sebab hal ini dapat membantu untuk menentukan konsep konten yang tepat.
Kedua, Penentuan konsep konten pemasaran. Setelah memahami target pasar, pesantren perlu merencanakan strategi konten pemasaran. Hal ini mencakup jenis konten. Misalnya konten dapat disebarkan dengan konsep video atau poster. Sehingga kemudian pesantren dapat menentukan platform yang akan digunakan untuk menyebarkan konten yang dihasilkan. Konten harus informatif dan menarik bagi audiens. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti trend yang sedang viral di media sosial. Mengikuti trend yang viral menunjang konten agar tersebar dengan jangkauan yang lebih luas dengan bantuan sistem For Your Page (FYP) di media sosial.
Ketiga, penyebaran konten melalui media sosial. Langkah ini merupakan lanjutan setelah konten dibuat. Pesantren harus memasarkan kontennya melalui media sosial. Konten tersebut dapat disebarkan melalui platform digital seperti TikTok, Instagram dan WhatsApp.
Selain digital marketing, penggunaan digital payment juga perlu diterapkan untuk mempermudah transaksi pembayaran. Lebih lanjut, kemudahan transaksi ini dapat didukung dengan aplikasi digital baik dalam transaksi jual beli maupun pembayarannya. Secara aplikatif pesantren dapat menggunakan aplikasi digital dalam transaksi jual belinya, seperti Shopee, Toko Pedia, Lazada dan lain sebagainya. Serta dapat menggunakan sistem pembayaran digital seperti DANA, OVO dan QRIS maupun transfer bank. Hal ini sejatinya bisa diterapkan oleh pesantren ketika menjual produk baik dalam praktik penjualan konvensional maupun digital (Satya, 2021: 19).
Berdasarkan pemaparan diatas penulis menyimpulkan beberapa hal: pertama, jumlah pesantren yang telah mengembangkan pengembangan ekonomi cukup banyak, namun baru beberapa yang sampai pada tahap optimal dan memiliki dampak keberlanjutan sebab tidak optimalnya sistem digital yang digunakan. Kedua, terdapat pesantren yang menggunakan sistem digital dalam marketing ekonomi kreatifnya namun tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Ketiga, terdapat beberapa strategi dalam menggunakan marketing digital untuk mengembangkan ekonomi kreatif pesantren yaitu: penelitian pasar, penentuan konsep konten pemasaran dan penyebaran konten melalui media sosial.
DAFTAR PUSTAKA
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/12/sebanyak-8693-penduduk-indonesia-beragama-islam-pada-31-desember-2021
- https://kemenag.go.id/opini/pesantren-dulu-kini-dan-mendatang-ft719d
- https://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/hingga-2023-opop-target-1000-pesantren-lahirkan-produk-unggulan-
- https://opop.jatimprov.go.id/
- Munajat, Ekonomi Kreatif Suatu Konsep Ekonomi Baru, Purbalingga; Eureka Media Aksara, 2022.
Nadzir. M., Membangun Pemberdayaan Ekonomi Di Pesantren, Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 6, No. 1, 2015. - Nasution. L., Efektifitas HKI Sebagai Pelindung Industri Kreatif, Jurnal ‘Adalah: Buletin Hukum Dan Keadilan, Vol, 4. No, 1, 2020.
- Sari. F. L, Dan Nadicha. F. U, Nilai-Nilai Sila Persatuan Indonesia Dalam Keberagaman Kebudayaan Indonesia, Jurnal Global Citizen, Vol. 11, No. 1, 2022.
- Satya. V. E., Pengaturan System Pembayaran Digital, Jurnal Info Singkat (Bidang Ekonomi Dan Kebijakan Publik), Vol.13, No, 2. 2021.
- Suryana, Ekonomi Kreatif, Ekonomi Baru: Mengubah Ide Dan Menciptakan Peluang, Jakarta: Salemba Empat, 2013.